Revisi UU Perkawinan
Membaca tajuk rencana Kompas (22/6) tentang revisi Undang-Undang Perkawinan, saya berpikir ada gagasan baru dari tajuk rencana tersebut. Ternyata pikiran saya salah, yg diulas tentang batas usia perkawinan belaka.
Meski perkawinan merupakan hal yg pribadi, saya setuju apabila prosedurnya diatur dlm UU Perkawinan dgn beberapa catatan.
Kenyataannya kehidupan pribadi ni amat banyak dicampuri pihak eksternal. Saya sering menjumpai perkawinan yg akan dilakukan pasangan beda agama, batal karena UU mensyaratkan bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama masing-masing.
Banyak pasangan yg beda agama tak begitu mempersoalkan agama masing-masing maupun apabila salah satu dari mereka pindah agama. Pihak luarlah yg sering mempersoalkan, entah orangtua entah keluarga besar. Mereka tak rela anggota keluarganya pindah agama.
Kalau dia nekat pindah agama kemudian menikah, maka tak jarang dia akan dikucilkan, bahkan tak diakui sebagai anak / kelompoknya. Alangkah kasihannya bila pasangan itu tak jadi menikah karena tekanan eksternal.
Berbeda bila ada lembaga yg mengesahkan perkawinan beda agama, seperti pd 1980-an di Kantor Catatan Sipil. Saya yakin tekanan pihak eksternal tak sedahsyat itu karena anak / kerabat yg akan menikah tak pindah agama. Hal semacam itu patut dipertimbangkan seandainya ada revisi UU Perkawinan demi menjamin keadilan dan perlindungan bagi tiap warga negara sesuai dgn perkembangan masyarakat.
0 Response to "Revisi UU Perkawinan//Pedagang Buah di Daan Mogot//Tak Dapat Membayar//Jam Kerja di DKI (Surat Pembaca)"
Posting Komentar