Mahkamah Konstitusi mengejutkan publik karena membatalkan ketentuan Pasal 7 Huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada beserta penjelasannya yg mengatur larangan konflik kepentingan dgn petahana.
Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yg dekat dgn petahana dpt mengikuti pilkada serentak tanpa harus jeda lima tahun / satu periode (Kompas, 9/7/2015). Pembatalan Pasal 7 Huruf r ni dilakukan MK karena bertentangan dgn Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 yg melarang praktik diskriminasi pd semua orang dlm bentuk apa pun dan Pasal 3 Ayat (3) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yg jg memerintahkan agar negara melindungi seseorang dari perlakuan diskriminatif.
Pembatasan kerabat petahana dlm pilkada menurut MK merupakan bentuk perlakuan diskriminatif, seharusnya pembatasan ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada kerabatnya, karena yg memetik keuntungan dari pembatasan ni adlh petahana.
Sesungguhnya putusan MK ni tak progresif dlm menafsirkan ketentuan Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 karena yg meraih keuntungan dlm pembatasan kerabat petahana dlm pilkada bukan petahana, melainkan jg para kerabat petahana. Artinya, pemetik keuntungan dari pengaturan ni adlh kedua belah pihak (resiprokal). Itulah sebabnya pembuat UU ni memberi penjelasan, kerabat petahana boleh mencalonkan diri dlm pilkada serentak sepanjang telah melewati jeda satu periode masa jabatan kepala daerah. Ketentuan demikian dimaksudkan agar kedua belah pihak tak dpt memetik keuntungan dlm pilkada saat petahana menjabat kepala daerah dan kerabatnya menjadi salah satu calonnya.
Dengan demikian, petahana tak dpt memanfaatkan kekuasaannya untk menyokong kerabatnya dlm pilkada melalui kebijakan politis daerah, berupa pemanfaatan dana publik APBD ataupun mobilisasi aparat birokrasi daerah untk menyokong jalan kerabatnya menang dlm pilkada. Begitu pula kerabat petahana tak lagi memiliki kepentingan dgn kepala daerah saat pencalonan dlm pilkada setelah jeda satu periode masa jabatan petahana kepala daerah.
Berpihak kepada publik
Seharusnya putusan MK lebih progresif dgn memihak pd kepentingan publik dan masa demokratisasi di Indonesia. Publik selama ni menolak politik kekerabatan dlm kompetisi meraih jabatan politik karena merupakan racun demokrasi yg membuat peta kekuasaan tak bergulir kepada semua orang, tetapi hanya berputar di ring elite politik dan keluarga besar petahana. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, sejak pilkada langsung dihelat tahun 2005-2014, setidaknya ada 59 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yg memiliki ikatan darah.
Negeri ni yg masih berusia muda dlm mengayuh jalan demokratisasi sangat perlu regenerasi kepemimpinan politik alternatif, kompeten, berintegritas, dan teruji kapasitasnya melalui intensitas yg panjang keterlibatannya dgn denyut nadi dan dinamika kehidupan sosial-politik di level lokal dan nasional. Pemimpin politik alternatif model ni hanya didapat melalui kompetisi sehat, adil, dan demokratis dgn memberikan peluang dan kesempatan yg sama kepada putra-putri terbaik bangsa.
Sebaliknya, dgn politik kekerabatan akan berpotensi melahirkan politik diskriminatif karena para kerabat petahana telah memiliki keistimewaan politis sebelum bertanding dlm pilkada, selain ditopang kekuasaan sang petahana kepala daerah, mereka jg memetik keuntungan popularitas petahana sebagai modal sosial yg paling kuat untk menang dlm pilkada.
Itulah sebabnya jauh hari John Rawls (1971) dlm Theory of Justicememperkenalkan filosofi keadilan dgn konsep fairness yg mengandung asas, bahwa orang-orang merdeka dan rasional yg berkehendak untk mengembangkan kepentingannya mestinya memperoleh suatu posisi yg sama pd saat akan memulai dlm sebuah kompetisi. Bahkan Rawls jg menegaskan, keadilan dlm hukum haruslah berpihak kepada "yang lemah", bukan kepada yg kuat.
Yang lemah dan pantas dilindungi melalui pembatasan pengaturan kerabat petahana ni adlh publik yg sejak lama menginginkan negeri ni bebas dari politik kekerabatan. Karena politik kekerabatan secara sistematis dan struktural akan memotong jalan kesempatan orang biasa tanpa ikatan darah dgn petahana dlm kompetisi meraih jabatan politik.
MK koreksi SE KPU
Jika merujuk pd tafsir hukum progresif ala Satjipto Rahardjo (2001) yg mengutamakan pemaknaan teks hukum lebih sensitif pd aspirasi, keinginan dan kebutuhan publik untk mencegah politik dinasti dlm pilkada, maka seharusnya putusan MK menolak gugatan terhadap ketentuan Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. Bahkan, seharusnya MK menafsirkan makna petahana "bukan mereka yg sedang menjabat", seperti dlm SE KPU Nomor 302/VI/ KPU/2015 yg berisi penjabaran Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 yg memicu kontroversi. Di mana KPU telah keliru menafsirkan petahana, yaitu kepala daerah yg tak lagi berstatus sebagai petahana saat dia mengajukan pengunduran diri dari jabatannya, melainkan petahana seharusnya adlh "orang terakhir yg menduduki jabatan kepala daerah".
Petahana dlm model tafsir hukum progresif ni adlh siapa pun kepala daerahnya , sepanjang ia menjabat yg terakhir di daerah itu, sekalipun mengajukan pengunduran diri dari jabatan kepala daerah di tengah jalan, maka ia tetap disebut petahana. Dengan begitu, mundur dan tak mundurnya seorang kepala daerah dari jabatannya tetaplah disebut petahana. Maka, dlm model tafsir hukum progresif ini, posisi petahana telah dikunci untk tak memberikan kesempatan kerabatnya maju dlm pencalonan kepala daerah.
0 Response to "Mahkamah Konstitusi Tak Progresif (AGUS RIEWANTO)"
Posting Komentar