This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Mutiara Islam] Menghakikatkan Syariat

kaemfret.blogspot.com - Ada dua hal pokok yg harus dipahami dlm ber-spiritual, yaitu dimensi eksoteris dan esoteris. Dimensi eksoteris bersifat luar, sedangkan esoteris bersifat dalam. Konsekuwensinya, para pejuang spiritual harus membentuk sikap yg bijaksana, baik dlm mengungkapkan kesan-kesan spiritual terlebih dlm memainkan peranannya dlm wilayah sosial. Sisi eksoteris tak dpt lepas dari esoteris, pelajaran tentang alam syahadah tak dpt dilepas dari pelajaran esoteris, karena alam senantiasa berkaitan erat dgn Sang Pencipta, dan agama dlm konteks ni harus memperhatikan sisi esoteris sehingga dpt terfahami. Seorang salik yg mampu memahami sisi esoteris, maka ia akan mengetahui hakekat hubungan antara sesama manusia dan Allah, sehingga akan berpengaruh kepada sisi syariat yg terfokus pd penekanan segi dogma dan doktrin, ritual, simbol, aturan dan praktik keagamaan yg bersifat lahiriyah.

Menghakikatkan Syariat
Menghakikatkan Syariat

Akan menjadi indah apabila seorang salik mampu membangun jalur syariat ni dlm warna-warni hakikat, dgn menggunakan ide-ide dan gagasan-gagasan tertentu tentang peranannya sebagai makhluk-hamba demi kepentingan untk suatu transformasi spiritual, sebagaimana nar menjadi nur, begitu pula bagaimana merubah gerakan fisik menjadi ibadah sesuai bentuk dan makna yg sebenarnya. Untuk itu syariat perlu dipandang sebagai wilayah yg dinamis artinya dpt tersentuh oleh suatu perubahan, tak tetap, dan tak final. Makhluk spiritual sebetulnya memerlukan bentuk-bentuk perubahan seperti ini, karena kesejatian makhluk spiritual adlh mencari kebenaran, dlm keadaan mencari ia berada pd kondisi yg memungkinkan untk mencoba, mendapatkan yg benar dan salah dlm ukura yg berbeda-beda, sehingga hasilnya pun berbeda-beda. Inilah bagin dari realitas alam yg memang diciptakan untk berbeda-beda.

Dimensi esoteris sebenarnya tak menuntut ketinggian dan kemuluk-mulukan dlm berfikir dan mengeluarkan gagasan terhadap suatu konsep tertentu, tapi sesungguhnya yg ditekankan adlh kebijaksanaan lahir batin dlm arti sadar tentang makna alam. Syaikh Siti Jenar misalnya, telah mencapai kebijaksanaan spiritual dlm konteks spiritual, tapi dianggap belum mampu menggapai kebijaksanaan spiritual dlm konteks sosial, sehingga masih rawan timbul pertentangan dlm wilayah sosial. Sedangkan Pangeran Panggung, dianggap telah mencapai kebijaksanaan sosial, tapi pd awalnya dianggap belum mendalami keinginan sosial. Pada akhirnya Pangeran Panggung mendapatkan posisi sosialnya bahkan menjadi petinggi wali yg mendapatkan kebebasan untk mengungkapkan gagasan sufistiknya di seluruh penjuru negeri. Kenyataan ni secara jelas adlh bahwa kebijaksanaan spiritual dan sosial itu tak dpt dipisahkan, terlebih apabila pemahaman masyarakat tentang suatu gagasan baru kurang begitu luas, maka adlh penting untk membuka dan mengajarkan pemahaman baru itu dlm suatu metode yg baru pula. Dalam konteks sejarah umat terdahulu, cara untk membuka ruang pemahaman baru adlh dgn gagasan yg didukung oleh keadaan-keadaan diluar adat kebiasaan manusia. Dalam hal ini, hal-hal yg terlihat sebagai tanda-tanda penampakan kegaiban adlh yg paling disenangi dan mendapat perhatian sungguh-sungguh dari para pengikut jalan spiritual, walaupun tak dipungkiri pula bahwa ada bentuk lainnya semisal cara pengungkapan yg cerdas sebagaimana al-Baghdadi, sehingga pemahaman tentang syariat dpt menjadi bagian dari wilayah pembahasan hakikat. Pada konteks ni tentu akan terjadi dialog yg nyaman apabila di antara kedua kubu yg berseberangan -ahli syariat dan ahli hakikat- dpt menemukan keadaan hidupnya, sehingga dimungkinkan antara keduanya dpt bernafas dgn lega, dan berbicara menyampaikan pendapat serta mendengar dgn lapang dada.

Gagasan syariat yg termakrifatkan sejatinya merupakan bagian dari makrifat itu sendiri. Ia telah berubah dari wujud aslinya menjadi wujud baru yg lebih luas wilayah bahasannya. Misalnya saja menjadikan shalat tak hanya sebagai wujud ritual semata, tapi menjadikannya sebagai cara bercinta paling mudah dgn Tuhan, maka disinilah letak sesungguhnya dari ruh ibadah itu. Syariat dlm posisi ni bukan lagi dasar panduan, melainkan hasil dari mengamalkan panduan, dan seorang hamba tak lagi mengabdi dlm statusnya sebagai yg diciptakan, melainkan dlm statusnya sebagai kekasih Tuhan. Siratan makna inilah yg membuat Ibrahim mampu mendapatkan Tuhan di balik bintang, bulan dan matahari, dan menjadikan Nuh mengakui cinta Tuhan melalui wujud air bah. Inilah sejatinya bentuk-bentuk wujud yg perlu dikupas lebih dlm esensi serta maknannya, karena di balik wujud ni ada yg tak berwujud, dan dibalik yg tak berwujud ni ada Dzat Yang Menjadikan Wujud dan yg dianggap sebagai tak wujud.

Selama ni syariat ditekankan dlm praktik ritual sebagai bentuk konsekuwensi logis seorang hamba Tuhan yg menghamba, dan penyajian bentuk syariat itu berada pd penekanan lahiriyah, walau syariat sejatinya luas dan tak hanya terfokus pd hal tersebut semata. Bahkan ia berada pd wilayah penyimbolan suci karena menggunakan Musa sebagai simbol bagi seorang ahli syariat dgn Khidir sebagai simbol ahli hakikat. Yang mana dlm penyimbolan Musa-Khidir seolah terdapat suatu bentuk penegasan bahwa untk mencapai hakikat harus melalui syariat, dan apabila belum mendalami syariat, maka ia seperti Kalijaga yg hanya diam menunggu datangnya Bonang. Dan sebagian sufi memandang hal itu sebagai suatu kebenaran kausalitas dlm spiritual, sehingga mereka menyimpulkan, bahwa orang yg tak memahami / bahkan menolak syariat tak akan mampu memahami hakikat, sehingga cenderung akan salah paham terhadap berbagai gagasan spiritual yg ada. Demikian pula, orang yg tak bersedia mendalami hakikat dan terbelenggu dlm syariat, maka ia bagaikan orang yg memakan kulit tanpa bersedia menikmati isi yg terbalut oleh kulit. Kedua-duanya sama-sama dlm suasana menikmati, tapi antara keduanya terdapat perbedaan dlm hal rasa kenikmatan yg dirasakan tersebut.

Dalam memaknai syariat dan hakikat ini, Syaikh Siti jenar cenderung berada pd posisi memandang syariat sebagai suatu sarana untk mendapatkan pencapaian spiritual tertentu. Sebagai sarana, maka syariat akan dpt mengantarkan sampai ke tujuan tapi harus dipahami bahwa ia tak dpt menjadi titik tujuan itu sendiri. Mohammad Zazuli mengibaratkan keadaan ni sebagai seseorang yg tengah mengendarai mobil hingga sampai kepada tujuannya. Mobil itulah sesungguhnya wujud syariat, dan tujuan itu tak dpt dicapai hanya dgn berada di dlm mobil selamanya, tapi perlu sekali untk keluar. Berusaha untk keluar inilah tariqah, keluar inilah haqiqah, dan mengetahui dan merasakan tempat tujuan inilah makrifah, sehingga untk menghakikatkan mobil perlu untk mempelajari seluk beluk mobil, dan memahami tiap bagian dari mobil untk apa bagian itu sesungguhnya, apa fungsinya, manfaatnya dan bagaimana kualitasnya.[1]

Melalui gagasan seperti ini, dpt ditangkap suatu bentuk perjalanan strategis dlm mendapatkan kenikmatan spiritual, bahwa untk mendapatkan percikan kenikmatan makrifat, sesungguuhnya dpt dicapai dgn menghakikatkan syariat, menyelami simbol-simbol lahiriyah, memaknai dogma dan doktrin, membijaksanakan diri untk senantiasa memandang syariat sebagai cara mencapai tujuan tapi bukan tujuan, sehingga ia berada pd posisi bukan sebagai patokan dlm memandang kebenaran, tapi fasilitas untk mendapatkan kebenaran, selama fasilitas itu diketahui maksud, fungsi dan tujuannya.

Syariat dgn demikian bukanlah sebuah harga mati yg menjadi batas wilayah perjuangan spiritual. dlm semangat kehidupan alam tiap sesuatu mengalami pergerakan dan perubahan, oleh karena itu syariat harus luwes iku bergerak dan fleksibel dlm menghadapi perubahan itu. Namun, hakikat adlh sesuatu yg pasti, karena ia dianggap sebagai ruh, jiwa, serta esensi agama itu sendiri. Apabila seorang salik sudah berada pd kemampuan memahami hakikat, syariat apapun bisa digunakan untk mengabdi dan menyembah kepada-Nya. Hal ni secara tersirat sesuai denga riwayat yg menjelaskan bahwa tidurnya seorang yg berilmu itu jauh lebih berkualitas jika dibandingkan dgn shalatnya orang yg tak berilmu. Yang mana, orang yg tak berilmu hanya menggunakan syariat sebagai syariat, sedangkan orang berilmu menggunakan syariat untk hakikat.

[1] Mohammad Zazuli, Syekh, hlm. 59.

source : http://tribunnews.com, http://bbc.co.uk, http://santriclumut.blogspot.com

0 Response to "[Mutiara Islam] Menghakikatkan Syariat"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *