This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Pendek Umur Peraturan (A AHSIN THOHARI)

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Jaminan Hari Tua hanya berumur tiga hari sejak ditandatangani karena Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Tenaga Kerja untk merevisi.

Materi muatan krusial yg direvisi menyangkut pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) bagi pekerja yg terkena pemutusan hubungan kerja / berhenti bekerja tak perlu menunggu kepesertaan 10 tahun. Revisi memungkinkan peserta untk mengklaim JHT satu bulan setelah berhenti bekerja. Gelombang aspirasi serikat pekerja agar aturan pencairan dana JHT setelah 10 tahun dibatalkan adlh alasan Jokowi mengambil langkah revisi.

Ini bukan kali pertama di era Presiden Jokowi, di mana sebuah peraturan hanya berbilang hari keberlakuannya. Barangkali, ni memecahkan "rekor" pendek umur peraturan sebelumnya yg dicetak Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untk Pembelian Kendaraan Perorangan (biasa disebut Perpres Mobil Dinas), yakni 14 hari.

Tidak hanya revisi, Perpres Mobil Dinas bahkan dicabut dgn alasan kondisi tak tepat, baik dari segi perekonomian, keadilan, maupun naiknya harga barang, tarif listrik, dan harga BBM. Suara masyarakat dan tak ingin mencederai perasaan masyarakat jg menjadi pertimbangan penting Presiden Jokowi. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengakui telah terjadi kelalaian dlm penerbitan Perpres Mobil Dinas.

Kendati sah-sah saja sebuah peraturan direvisi / bahkan diganti, jika dilatari kecerobohan penyelenggaraan pemerintahan, sungguh ni adlh tragedi ketatanegaraan.

Kewenangan presiden

Pada prinsipnya, peraturan merupakan pengejawantahan produk pengambilan keputusan yg ditetapkan kekuasaan negara yg mengikat umum. Dalam konteks Indonesia, presiden adlh pemegang kekuasaan pemerintahan dgn wewenang untk memutuskan (beslissende bevoegdheid) dan wewenang untk mengatur (regelende bevoegdheid).

Kekuasaan presiden dlm menerbitkan PP dan perpres adlh wewenang untk mengatur agar roda pemerintahan berjalan dgn efektif, efisien, dan responsif terhadap berbagai persoalan dlm masyarakat. PP adlh peraturan untk menjalankan undang-undang. Sementara perpres dibentuk untk mengatur materi yg diperintahkan undang-undang, melaksanakan PP, / melaksanakan kekuasaan pemerintahan.

Setiap gejala kenegaraan yg terkait penyelenggaraan pemerintahan harus diatasi segera tanpa mengorbankan kecermatan dlm bertindak. Setiap tindakan pemerintahan (bestuur handelingen) oleh presiden harus didasarkan pd informasi dan dokumen pendukung yg lengkap dan akurat serta memperhitungkan segala akibat yg mungkin timbul.

Benar apa yg digarisbawahi "Tajuk Rencana" (Kompas, 6/7), para pembantu presiden harus mempunyai perancang produk hukum (legal drafter) yg memahami bagaimana membuat produk hukum di era demokrasi konstitusional dibuat.

Dalam hal ini, legal drafter, sejak menyusun naskah akademik hingga merancang PP / perpres amat mungkin melakukan kesalahan sehingga pd akhirnya terbit peraturan yg tak responsif dan bertentangan dgn ekspektasi publik.

Kemungkinan lain adlh pilihan kebijakan telah ditentukan oleh menteri yg bertanggung jawab di bidang teknis, dgn asumsi presiden tak tahu-menahu soal pilihan kebijakan itu. Sementara itu, legal drafter hanya merumuskannya ke dlm bentuk rancangan PP / perpres sesuai dgn teknis pembentukan peraturan perundang-undangan yg diatur dlm Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Akhirnya presiden yg menandatangani.

Memetik hikmah

Pendek umur peraturan bukan monopoli peraturan yg diproduksi presiden saja. Undang-undang jg mengalami hal yg sama. Sejak era reformasi, misalnya, undang-undang paket politik (meliputi parpol, pemilu, penyelenggara pemilu, pemilu presiden, pemilu legislatif, dan MD3) selalu berubah dari pemilu ke pemilu. Sampai-sampai undang-undang paket politik ni diibaratkan popok bayi yg sekali pakai langsung buang.

Celakanya, antara satu aturan dan lainnya tak dimaksudkan sebagai kebijakan yg berkesinambungan. Setiap aturan dibuat demi dirinya sendiri sehingga alih-alih bergerak progresif ke depan, kebijakan di bidang politik negeri ni selalu membawa semangat transisi, pancaroba, dan belum stabil. Akhirnya, pendulum kebijakan berayun liar yg hanya bolak-balik dari satu sisi ke sisi lain.

Hikmah yg dpt dipetik dari peristiwa pendek umur peraturan ni adlh sudah semestinya pembentuk peraturan selalu memperhitungkan aspek adaptif, futuristis, daya tahan (durability), dan umur panjang (longevity) suatu peraturan agar uang rakyat yg digunakan untk membiayai tak terbuang percuma.

Peraturan yg memperhitungkan hal-hal tersebut akan menjamin kebijakan yg ajek, kontinu, stabil, bergerak ke depan, dan terutama untk kepentingan rakyat.

Untuk itu, tiap tahapan harus dikerjakan dgn cermat dan teliti mulai dari tahap perencanaan yg meliputi prolegnas, program penyusunan PP, program penyusunan perpres, prolegda provinsi, dan prolegda kabupaten/kota hingga tahap penyusunan yg meliputi penyiapan naskah akademik, harmonisasi vertikal atapun horizontal, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan.

Semoga tragedi ketatanegaraan pendek umur peraturan tak lagi terulang.

A AHSIN THOHARI

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

0 Response to "Pendek Umur Peraturan (A AHSIN THOHARI)"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *