This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Kooperativisme dan Koeksistensi (SRI-EDI SWASONO)

The American Economic Association, melalui Prof Howard Ellis selaku editor, menerbitkan buku A Survey of Contemporary Economics jilid I (1949). Jilid II terbit tiga tahun kemudian, dgn editor Prof Bernard Haley (1952).

Kedua buku ni bagi saya sangat monumental. Tokoh-tokoh besar ekonom kontemporer (saat itu) mengisi kedua buku itu antara lain Boulding, Galbraith, Arrow, Scitovsky, Lange, Dahl, Lindblom, Nurkse, Leontief, Samuelson, Abramovitz, Papandreou, Buchanan, Baran, Bator, dan Friedman. Sebagian di antara mereka adlh penerima Nobel. Nama-nama ni tentulah menggetarkan para ilmuwan ekonomi.

Enam dekade yg lalu mereka telah makin meragukan bahkan ada yg menentang pasar bebas (laissez-faire).Mereka mengemukakan kegagalan-kegagalan pasar (market-failures), baik teoretikal maupun empirik, yg tak bersambung ke societal welfare dansocial optimum sebagaimana dirindukan ilmu ekonomi. Tentu Prof Friedman dan beberapa tokoh tetap mempertahankan pasar bebas dan invisible hand-nya Adam Smith.

Perluas mekanisme kerja sama

Di luar kedua buku itu, Prof Robinson (1962) mengkritisi pasar-bebas: ".para penganut mazhab klasik menjagoi perdagangan bebas dgn alasan bahwa hal ni menguntungkan bagi Inggris dan bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia."

Pemenang-pemenang Nobel Ekonomi, seperti Sen, Stiglitz, Phelps, Krugman, Akerlof, dan jg tokoh-tokoh ekonom kontemporer saat ini, seperti Heilbroner, Kuttner, Frank, Thurow, dan Soros tandas menolak pasar bebas. Lebih-lebih Prof Heilbroner (1994), yg menyatakan:".pasar mendorong perbuatan yg tak bermoral, hal mana tak hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi, tetapi jg merupakan suatu kegagalan moral ."

Dasar pasar bebas adlh paham individualisme dan liberalisme, yg mengutamakan kepentingan pribadi. Sementara persaingan bebas adlh mekanismenya pasar bebas.

Inilah ilmu ekonomi belahan "kompetitivisme". Belahan dikotomis lain ilmu ekonomi adlh "kooperativisme", yg berdasar paham kebersamaan / mutualisme yg mengutamakan kepentingan bersama, saling bekerja sama dan mendahulukan kepentingan bersama seluruh masyarakat.

Ekonom-ekonom kontemporer masa kini di atas makin menekankan perlunya membatasi mekanisme persaingan bebas dan memperluas mekanisme kerja sama. Dalam mengganasnya globalisasi, Krugman (2001) sempat menyatakan:".bahwa obsesi dgn daya saing akan membawa konflik perdagangan, bahkan mungkin perang dagang dunia . obsesi dgn daya saing adlh salah dan sekaligus berbahaya."

Kata kunci: kerja sama

Sesungguhnya dunia sudah jemu saling bersaing, capai saling bertarung. Sejak lama dunia menyadari perlunya mengakhiri persengketaan, peperangan, dan meneriakkan perlunya kerukunan dan bekerja sama, menuntut solidaritas global.

Ketika Perang Dunia I berkecamuk serta berakhir dgn porak poranda Eropa, dunia sempat berhenti. Dunia berputar kembali digerakkan oleh kerja sama, dimotori Liga Bangsa-Bangsa.

Ketika dunia lengah lagi, pecah Perang Dunia II. Dengan dijatuhkannya bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki, dunia mandek. Lagi-lagi motor penggerak dunia adlh kerja sama melalui kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya PBB berperan kuat untk membatasi persaingan, persengketaan dan peperangan, memunculkan diri sebagai lembaga kerja sama, dan perdamaian global.

Apabila saat ni globalisasi ekonomi menampilkan diri dlm wujud persaingan, dgn melontarkan diktum-diktum ilusif the end of nation states, the borderless world, dan the end of history,sembari memelihara pasar bebas ataulaissez-faire, ni merupakan perwujudan ambivalensi global. Ulah kapitalisme dan imperialisme global telah menodai globalisme mulia yg memimpikan solidaritas mondial dan koeksistensi damai. Sejarah kerja sama telah menandai penyelamatan peradaban manusia.

Dunia makin jemu melihat yg kuat menggusuri yg lemah, tegas-tegas menolak jargon the winner-take-all(Frank & Cook, 1996), yg Lester Thurow (2000), dekan di MIT, mengecamnya:".dalam sistem kapitalisme pihak yg menang tak perlu bermusyawarah dgn pihak yg kalah. pihak yg menang dgn bengis akan meminggirkan pihak yg kalah keluar pasar."

Jemu bersaing

Liga Bangsa-Bangsa, kemudian PBB, demikian pula berbagai fora dan organisasi internasional, seperti The Red Cross, Nuclear Disarmament (1958), "not to an arms race but to a peace race" (1951), Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok (GNB), Selatan-Selatan, dan fora ekonomi, seperti OKI, OECD, AFTA, NAFTA, WTO, APEC, bahkan ASEAN dgn MEA-nya, kesemuanya merupakan wujud tuntutan global nyata untk bekerja sama. Itu semua sebagai wujud kejemuan untk bersaing, bertarung, dan berperang. Bukankah runtuhnya Tembok Berlin, 9 November 1989, merupakan kelanjutan dari tuntutan-tuntutan kerja sama, yg memunculkan kembali impian lama the brotherhood of men / "alle Menschen werden Bruder"-nya puisi Von Schiller,yang kemudian menyatukan negara-negara Eropa menjadi Uni Eropa, yg bersatu dlm kerja sama.

ASEAN dan MEA-nya adlh forum kerja sama. Dalam kerja sama tak boleh ada yg dirugikan. Makna kerja sama adlh bersinergis untk saling menguntungkan. Kerja sama yg merugikan salah satu / seluruh pihak haruslah distop dan ditolak. Kerja sama bicara tentang traktat dan aliansi. Kerja sama bukan ajang jual beli kedaulatan. Jangan memersepsikan MEA dari insting bersaing.

Dalam fora kerja sama yg lebih tepat digunakan bukanlah perkataan "daya saing" (competitive advantage), tetapi adlh "daya kerja sama" (co-operative advantage). Persaingan dan kerja­sama, keduanya merupakan realita, untk merukunkan keduanya diciptakan perkataan "co-opetition", artinya mengatur persaingan melalui kerja sama yg baik.

Dengan kata lain "persaingan" perlu direduksi menjadi "perlombaan", suatu"concours" ataupun "contest", yg kalah berlomba tetap dipelihara, bahkan diberdayakan. Di dlm negeri, ekonomi Indonesia harus digerakkan dgn kerja sama meningkatkan efisiensi untk menghadapi kekuatan ekonomi luar negeri.

Usaha dan pemilikan bersama

Kita bersyukur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi, yg arahnya merangkul pasar bebas dan kapitalistik, akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Di depan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi saya sempat menyebutnya sebagai UU borjuis. Dengan demikian, kita kembali ke UU No 25/1992, di sini ada kebenaran strategis. Di sana ditegaskan bahwa "koperasi adlh bagian integral dari perekonomian nasional".

Jadi, apabila Pasal 33 UUD 1945 menyatakan: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan", maka seluruh wadah perekonomian (koperasi, BUMN, swasta) masing-masing dan antarketiganya harus merupakan suatu "usaha bersama" nasional, yg mengemban roh kooperativisme. Di sini ada pemilikan bersama dan tanggung jawab bersama sebagai wujud kebersamaan nasional.

Sebelum kemerdekaan, Mohammad Hatta (1934) dan Radjiman Wedyodiningrat (1944) jg telah menegaskan penolakannya terhadap pasar bebas dan persaingan bebas-nya Adam Smith. Jangan sampai kita terperosok ke dlm teori- teori ruang kelas yg usang nonkonstitusional, yg skenario pelumpuhan.

Selamat Hari Koperasi.

source : http://log.viva.co.id, http://merdeka.com, http://doa-bagirajatega.blogspot.com

0 Response to "Kooperativisme dan Koeksistensi (SRI-EDI SWASONO)"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *