Ketokan palu hakim Sarpin Rizaldi akhirnya berbuah rekomendasi dari Komisi Yudisial untk tak menyidangkan perkara (non-palu) selama enam bulan. Dalam putusannya, Komisi Yudisial menyimpulkan bahwa hakim Sarpin tak profesional dlm menyusun pertimbangan putusan pd perkara praperadilan Budi Gunawan.
Putusan ni layak diapresiasi meskipun cukup banyak waktu yg dihabiskan Komisi Yudisial (KY) untk menghasilkan sebuah rekomendasi. Hal ni tentu jadi salah satu penyebab munculnya beragam interpretasi praktik praperadilan yg dilakukan oleh hakim. Sebab, di tengah ketiadaan batasan dlm praperadilan, hakim berpotensi berlindung di balik kemandirian hakim untk memutus berdasarkan kepentingan pihak tertentu.
Di tengah tingginya ketakpercayaan publik pd penegak hukum konvensional, pengadilan justru memperkuat persepsi publik atas buruknya kinerja penegakan hukum itu. Karena itu, ranah peradilan harus jadi bagian dari upaya membongkar penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sebaliknya.
Tingginya praktik korupsi di Indonesia tak bisa lepas dari kinerja peradilan dlm konteks penegakan hukum. Ada banyak catatan bagaimana hakim disuap, bahkan atas hakim pengadilan tindak pidana korupsi sekalipun.
Dalam persepsi publik, korupsi di peradilan jg menyumbang terhadap tingginya indeks persepsi korupsi di Indonesia. Bahkan, dlm laporan Global Corruption Barometer (GCB), peradilan termasuk dlm tiga besar institusi paling korup di Indonesia selain partai politik/parlemen dan polisi (2009-2013).
Situasi ranah yudisial yg korup sebetulnya sangat kontradiktif dgn konteks reformasi peradilan pasca-Orde Baru. Pemisahan kekuasaan peradilan yg dahulunya dikooptasi eksekutif ditujukan agar penyelenggaraan peradilan dilaksanakan menurut prinsip negara hukum.
Desain reformasi peradilan ni tentu bukanlah menjadikannya sebagai institusi yg memutus suatu perkara tanpa mengindahkan kaidah-kaidah hukum / prinsip-prinsip yg berlaku umum. Independensi peradilan jg tak ditafsirkan bahwa kebebasan hakim memutus bukanlah subyek yg bisa dinilai oleh institusi negara lainnya.
Dalam konteks perkembangan hukum terkait praperadilan, misalnya, tidaklah dibiarkan seperti bola liar di mana hakim seolah-olah bertindak sendiri-sendiri tanpa batasan yg jelas dan tegas. Sekalipun perluasan praperadilan adlh hal yg konstitusional menurut putusan Mahkamah Konstitusi, hal itu mesti diberikan batasan agar hakim tak memutus secara sewenang-wenang.
Jika pembiaran ni dilakukan secara terus-menerus, bukan tak mungkin praperadilan akan menjadi celah bagi mafia hukum untk menghentikan sebuah perkara pidana. Padahal, penghentian perkara sebagai modus mafia hukum telah lama menjadi catatan kelam bagi penegak hukum konvensional.
Jika berkaca pd Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), undang-undang jelas menyatakan KPK tak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dlm perkara tindak pidana korupsi. Pasal ni memberikan pesan, penghentian perkara di institusi penegak hukum lain telah disalahgunakan untk kepentingan pihak tertentu, sehingga ni menjadi pemicu bagi KPK untk memperkuat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan guna menghindari penyalahgunaan kewenangan terkait penghentian perkara.
Oleh karena itu, perluasan kewenangan praperadilan seharusnya disertai batasan-batasan yg jelas agar hakim tak lagi memutus secara serampangan. Jika tidak, mungkin saja sanksi etik kepada hakim Sarpin yg direkomendasikan oleh KY akan kembali terulang bagi hakim lainnya dlm kasus yg sama.
Selain itu, kewenangan hakim yg begitu besar dlm praperadilan perlu disertai dgn mekanisme pengawasan yg mumpuni. Namun, fakta menyatakan lain, pengawasan internal di Mahkamah Agung (MA) terlihat lumpuh ketika berhadapan dgn fenomena praperadilan ini.
Respons justru muncul dari pengawas eksternal (KY) yg kemudian memberikan rekomendasi sanksi. Namun, hal itu sangat bergantung pd niat baik MA untk mengamini sanksi tersebut / sebaliknya.
Kita tengah menghadapi situasi penegakan hukum yg rumit, publik disuguhkan pemandangan penegakan hukum yg tak kondusif. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan seharusnya jadi solusi, bukan justru menjadi diktator yudisial yg memutus secara sewenang-wenang.
REZA SYAWAWI, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
Versi cetak artikel ni terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2015, di halaman 6 dgn judul "Diktator Yudisial".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
0 Response to "Diktator Yudisial (REZA SYAWAWI)"
Posting Komentar