Perayaan hari raya Idul Fitri / biasa disebut Lebaran di Indonesia bisa dibilang cukup unik. Lebaran tak hanya berdimensi religius, tetapi jg sangat kental dgn dimensi sosial, budaya, dan ekonomi. Eratnya sistem kekerabatan dan hubungan kekeluargaan menjadikan Lebaran sekaligus sebagai momentum silaturahim "massal".
Budaya saling berkunjung antarsanak saudara dan handai tolan memiliki implikasi langsung terhadap kegiatan ekonomi. Bagaimana tidak, hampir tiap rumah tangga seolah "wajib" menyediakan berbagai hidangan khas Lebaran. Bukan itu saja, Lebaran jg sering identik dgn baju baru, bahkan tak jarang berbagai perlengkapan rumah tangga yg harus baru sampai kendaraan baru. Karena itu, tak jarang pd saat Lebaran kegiatan pegadaian dan pembiayaan kredit mengalami peningkatan cukup signifikan.
Sebenarnya, meningkatnya berbagai kebutuhan masyarakat tersebut semestinya justru dpt dimanfaatkan sebagai sumber peningkatan produktivitas nasional. Apalagi jika pemerintah mampu memberikan berbagai stimulus dan insentif kepada dunia usaha, tentu akan semakin mendorong efisiensi sehingga mampu memacu produksi. Demikian jg jika terdapat langkah-langkah antisipatif guna mendorong ketersediaan berbagai komoditas pangan penting. Terutama bahan pangan yg permintaannya pasti meningkat saat Lebaran, seperti beras, gula, cabai, daging, dan telur.
Dengan demikian, meningkatnya permintaan masyarakat tiap Ramadhan dan Lebaran tak akan diikuti fluktuasi harga. Alhasil, Lebaran justru menjadi momentum peningkatan produktivitas, tetapi tanpa harus disertai tekanan inflasi. Lebaran justru memacu kinerja sektor riil dan momentum mengurangi ketergantungan impor.
Lebaran yg jg selalu diikuti oleh tradisi mudik terus berlangsung turun-temurun. Jumlah pemudik Lebaran kali ni diperkirakan mencapai 20 juta orang. Tradisi mudik merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pemusatan kegiatan pembangunan yg terkonsentrasi di kota-kota besar telah mendorong arus urbanisasi dari seluruh pelosok negeri menyerbu kota-kota besar. Hampir semua sumber daya manusia (SDM) yg berkualitas tak ada yg tertinggal di desa. Akibatnya, desa dan daerah yg memiliki potensi sumber daya alam yg melimpah justru tertinggal. Terbatasnya SDM berkualitas di desa memicu ketimpangan pembangunan desa-kota semakin melebar.
Jembatan mengurai kesenjangan
Momentum mudik mestinya dpt menjadi jembatan untk mengurai kesenjangan pembangunan desa-kota. Para urban yg telah berhasil di kota-kota besar dpt memberikan transfer informasi, pengetahuan, dan berinvestasi di kampung halamannya melalui usaha-usaha produktif. Setidaknya, Lebaran 2015, Bank Indonesia telah mengeluarkan uang tunai baru sekitar Rp 125 triliun. Artinya, terdapat perputaran uang tunai dan potensi transfer dana dari kota ke desa yg mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Sayangnya, perputaran uang itu hanya untk kegiatan yg bersifat konsumtif belaka. Bahkan, sebagian besar tersedot untk memenuhi kebutuhan transportasi dan pengeluaran bahan bakar minyak (BBM) karena tradisi kemacetan arus mudik yg tak kunjung terselesaikan. Keberhasilan pembangunan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) sekalipun ternyata belum mampu memutus persoalan pemborosan konsumsi BBM akibat kemacetan arus mudik di jalur pantai utara Jawa.
Semestinya pemerintah mengantisipasinya dgn menyediakan sarana transportasi yg harganya terjangkau oleh masyarakat. Minimal berbagai alat transportasi yg di bawah kendali BUMN dpt dioptimalkan, seperti PT Kereta Api Indonesia, Damri, Pelni, dan Garuda Indonesia, justru diberikan insentif, bukan malah ikut dinaikkan. Strategi ni minimal akan menekan kenaikan ongkos transportasi angkutan Lebaran, terutama mengendalikan kenaikan ongkos transportasi yg dilakukan angkutan swasta. Artinya, laju inflasi yg disumbang dari transportasi dpt dikendalikan. Tidak hanya itu, jika porsi pengeluaran pemudik untk transpor dpt dikurangi, tentu potensi peningkatan daya beli masyarakat untk menggerakkan sektor produksi akan semakin meningkat.
Pengeluaran pemudik di desa mempunyai dampak langsung menggerakkan ekonomi desa. Apalagi jika pemerintah daerah mempunyai cukup kreativitas mengoptimalkan sumber daya pemudik sebagai putra daerah untk membangun kampung halamannya melalui investasi jangka panjang. Ketersediaan dana desa yg akan digelontorkan kepada tiap desa dpt menjadi modal awal untk meningkatkan kapasitas ekonomi di desa. Dana tersebut akan semakin optimal jika pemerintah daerah / desa dpt menggandeng putra daerah untk menumbuhkan berbagai usaha produktif di desa. Jika potensi ekonomi desa dpt dikelola dan dibangun, bukan hal mustahil segera akan terjadi arus reurbanisasi dari kota ke desa.
Sayangnya, pengelolaan tradisi Lebaran sampai tahun ni sama sekali belum ada perubahan. Sejak menjelang Ramadhan, berita utama yg menghiasi semua media tetap saja kenaikan harga berbagai kebutuhan bahan pokok. Padahal, jika stabilisasi harga kebutuhan pokok dpt dijaga, niscaya daya beli masyarakat dpt meningkat sehingga dpt mengembalikan kemampuan konsumsi rumah tangga. Lebaran dpt dijadikan momentum untk kembali menggairahkan kelesuan ekonomi.
0 Response to "ANALISIS EKONOMI ENNY SRI HARTATI:Momentum untuk Menggerakkan Ekonomi"
Posting Komentar